Source: apnphotographyschool.com |
Aceh, wilayah terbarat Indonesia yang sedang berjuang dengan impian penegakan syariat islam dikejutkan dengan tragedi pemerkosaan dan perampokan di Lhoknga, Aceh Besar. Kejadian tragis yang bermula dari dicegat dan dirampoknya pasangan yang sedang melintasi jalanan sepi. Naas, ketika 4 pelaku memukuli sang laki-laki, seorang lagi dari mereka mengambil kesempatan terhadap sang perempuan.
Fakta menyakitkan adalah, meskipun polisi dengan cepat memburu dan berhasil menangkap salah satu pelaku, dan terus memburu pelaku lainnya, hukum yang berlaku hanya mampu memberikan hukuman diatas lima tahun penjara.
Sebagaimana dilansir Waspada.
Beberapa netizen Aceh mengangkat peristiwa itu, dan perdebatan pun mulai terjadi, meskipun tidak meluas. Beberapa komentar menyalahkan pasangan yang melintasi wilayah sepi di malam hari, yang lainnya mengalihakan isu mengenai pemberlakuan jam malam, dan beragam komentar lainnya.
Fakta yang mungkin terlupakan, tidak ada satu hal pun, dengan alasan apapun membenarkan terjadinya perkosaan. Bahkan seorang wanita yang berjalan dalam keadaan telanjang di wilayah publik tidak dibenarkan diperkosa. Realitas pahit yang lupa dilirik oleh mereka yang menyalahkan pasangan itu.
Ironisnya, beberapa akun anonim menggunakan tragedi itu untuk menjustifakasi penolakan terhadap pemberlakuan aturan jam malam bagi wanita, yang digagas di Aceh. Dengan menggunakan logika dangkal bahwa meskipun jam malam diberlakukan, kasus perkosaan tetap terjadi di Aceh. Fakta pahit yang tidak bisa dibantah.
Bahkan seorang teman yang aktivis hukum dan perlindungan perempuan, yang telah menangani banyak kasus perkosaan di wilayah Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah, menyebutkan angka dengan persentase korban anak di bawah umur dan perempuan, yang berasal dari kalangan baik-baik, namun menjadi korban kejahatan seksual.
Pencegahan dan Hukuman Maksimal.
Pemberlakuan jam malam, ataupun tindakan sejenis, sebenarnya adalah tindakan pencegahan. Terlepas dengan berbagai pemberitaan, Aceh belum sepenuhnya pulih terutama dalam hal keamanan. Menciptakan kondisi yang meminimalkan terjadinya kejahatan bagi wanita, adalah solusi yang masuk akal. Terutama dengan mempertimbangkan masih belum idealnya sistem perlindungan hukum, keterbatasan sarana dan prasarana, serta kondisi wilayah yang belum sepenuhnya aman
Fakta menyakitkan adalah, meskipun polisi dengan cepat memburu dan berhasil menangkap salah satu pelaku, dan terus memburu pelaku lainnya, hukum yang berlaku hanya mampu memberikan hukuman diatas lima tahun penjara.
Sebagaimana dilansir Waspada.
“Tersangka MN, terancam dijerat pasal berlapis yakni Pasal 285, 170, dan 365 KUHP, dengan ancaman kurungan penjara di atas lima tahun penjara,” kata AKP Machfud.
Beberapa netizen Aceh mengangkat peristiwa itu, dan perdebatan pun mulai terjadi, meskipun tidak meluas. Beberapa komentar menyalahkan pasangan yang melintasi wilayah sepi di malam hari, yang lainnya mengalihakan isu mengenai pemberlakuan jam malam, dan beragam komentar lainnya.
Fakta yang mungkin terlupakan, tidak ada satu hal pun, dengan alasan apapun membenarkan terjadinya perkosaan. Bahkan seorang wanita yang berjalan dalam keadaan telanjang di wilayah publik tidak dibenarkan diperkosa. Realitas pahit yang lupa dilirik oleh mereka yang menyalahkan pasangan itu.
Ironisnya, beberapa akun anonim menggunakan tragedi itu untuk menjustifakasi penolakan terhadap pemberlakuan aturan jam malam bagi wanita, yang digagas di Aceh. Dengan menggunakan logika dangkal bahwa meskipun jam malam diberlakukan, kasus perkosaan tetap terjadi di Aceh. Fakta pahit yang tidak bisa dibantah.
Bahkan seorang teman yang aktivis hukum dan perlindungan perempuan, yang telah menangani banyak kasus perkosaan di wilayah Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah, menyebutkan angka dengan persentase korban anak di bawah umur dan perempuan, yang berasal dari kalangan baik-baik, namun menjadi korban kejahatan seksual.
Pencegahan dan Hukuman Maksimal.
Pemberlakuan jam malam, ataupun tindakan sejenis, sebenarnya adalah tindakan pencegahan. Terlepas dengan berbagai pemberitaan, Aceh belum sepenuhnya pulih terutama dalam hal keamanan. Menciptakan kondisi yang meminimalkan terjadinya kejahatan bagi wanita, adalah solusi yang masuk akal. Terutama dengan mempertimbangkan masih belum idealnya sistem perlindungan hukum, keterbatasan sarana dan prasarana, serta kondisi wilayah yang belum sepenuhnya aman
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (Pasal 285, KUHP)
Meskipun hukum menjamin adanya sanksi penjara dengan maksimal 12 tahun, namun dalam kenyataan, meningkatnya angka perkosaan dan kasus predator anak, menunjukkan fungsi efek jera dari penerapan hukuman itu semakin tumpul.
Sangat tidak sebanding dengan 'hukuman seumur hidup' yang harus diterima oleh korban perkosaan. Yang akan membuat hukum semkain terkesan tidak adil bila dikaitkan lagi dengan kerusakan mental yang munkin terjadi dan berpotensi diturunkan dalam bentuk pelampiasan/perilaku buruk pada anak, ketika korban kemudian menikah.
Sudah mulai banyak lembaga maupun aksi perseorangan yang menggagas petisi untuk pemberian hukum maksimal bagi pelaku perkosaan dan predator anak. Angka 15 tahun sampai Hukuman Mati menjadi usulan yang muncul.
Mengapa bukan Hukuman Mati saja. Fakta pahit juga, sebagian kecil kasus perkosaan terjadi akibat adanya kesalahan dari kedua belah pihak. Sebut saja pergaulan bebas, kebiasaan nongkrong di hotel dan bar/nightclub, mengikuti ajakan ke tempat sepi, dan banyak lagi.
Saya tidak membenarkan perkosaan, atas alasan apapun, kejahatan terkutuk itu tetap tidak benar. Namun kondisi 'memberikan kesempatan' patut dipertimbangkan. Sehingga bisa dijadikan bahan renungan bagi siapapun. Bahwa bila anda memberikan kesempatan, anda juga punya kesalahan, karenanya hukum maksimal tidak bisa diterapkan.
Dengan sosialisasi dan redoktrinisasi publik, konsep ini akan membuat siapapun akan sangat mencegah terjadinya kesempatan. Kita tentu menginginkan pelaku kejahatan mendapat hukuman maksimal. Seperti hukuman mati bagi koruptor dan penghianat yang efektif menekan angka korupsi dan mata-mata, di negara lain tentunya.
Tak bisa tidak saya berpikir bahwa dengan acuh pada 'lingkungan' yang memungkinkan kesempatan kejahatan ini terjadi, kita sama dengan membenarkan kejahatan ini boleh ada. Dengan acuh pada pendidikan agama bagi anak-anak kita, kita sama dengan membenarkan kejahatan ini. Dengan acuh pada peluang untuk menuntut hukuman yang lebih berat, hukuman maksimal, kita berarti memberi kelonggaran pada pelaku kejahatan. Sama dengan membenarkan.
Tak bisa tidak saya berpikir bahwa dengan acuh pada 'lingkungan' yang memungkinkan kesempatan kejahatan ini terjadi, kita sama dengan membenarkan kejahatan ini boleh ada. Dengan acuh pada pendidikan agama bagi anak-anak kita, kita sama dengan membenarkan kejahatan ini. Dengan acuh pada peluang untuk menuntut hukuman yang lebih berat, hukuman maksimal, kita berarti memberi kelonggaran pada pelaku kejahatan. Sama dengan membenarkan.
Saat ini, dengan belum idealnya kondisi, maka pilihan yang tersedia adalah membatasi terjadinya kesempatan. Juga mengembalikan kewajiban pendidikan islam seperti Aceh dimasa lalu. Ketika kami anak-anak, wajib mengaji di Dayah atau Balee. Kewajiban yang dikontrol masyarakat, sehingga kalau ada anak yang tidak mengaji, akan mengakibatkan orang tua mendapat teguran dari masyarakat.
Sambil berharap, hukuman mati, akan menjadi batas maksimal bagi pelaku kejahatan seksual dan predator anak.
nah padahal, dalam islam, hukuman bagi pemerkosa ya hukuman mati. tapi klo ide itu kita lontarin, maka di bilang ntar orang islam itu gila darah :D
ReplyDeleteSangat setuju sekali
ReplyDeleteMembatasi terjadinya kesempatan pemerkosaan salah satunya: Para lelaki jgn suka bawak anak gadis orang tengah2 malam. Jika udah kebelet kali silahkan menikah. jika belum punya mahar maka tanya sama Yudi Randa. :)
ReplyDeleteHukum islam ya dirajam, ditimpuk batu sampai mati. Baru deh ada efek jeranya. Tapi jelas bakal banyak yang nolak, tidak sesuai HAM lah, sadis lah. Walaupun ditunjukkan hadits2 shohih tetap aja banyak penolakan..
ReplyDelete